sinopsis dan cuplikan novel tahun 1930
Belenggu
Karya Armijn Pane
Sukartono adalah seorang dokter yang dikenal budi
pekertinya, sedia membantu meskiun pasiennya tidak mempunyai uang untuk
membayar biaya pengobatan. Samgat jaranga ada dokter seperti dokter Sukartono,
dia sudah berumah tangga, Tini, nama istrinya. Mereka hidup kurang harmonis
karena pernikahan mereka tidak didasari cinta, akan hal itu mereka sering
bertengkar. Tini sering marah-marah sendiri dan yang sering jadi sasaran
kemarahan Tini adalah Karno, pembantunya, meskipun marah tanpa sebab Karno
sering kena marah majikannya si Tini.
Seusai kerja Kartono langsung menuju meja kecil, diruang
tengah mencari bloc-notenya siapa tahu ada pasien. Dia langsung bergegas ketika
mengetahui ada pasien yang sedang membutuhkan dia, setelah beberapa menit
kemudian Kartono masih mencari alamat pasien yang ternyata bertempat tinggal
dihotel. Sesegera mungkin dokter kartono menghampiri kamar pasien yang bernama
Ny. Eni. Berawal dari pemeriksaan hingga terjalin sebuah hubungan gelap,
Kartono tak jarang berkunjung kerumah Ny. Eni yang kemudian ia panggil Yah,
hari-hari Kartono sering ia isi dengan berada dirumah Yah seusai kerja.
Tono sering menghabiskan waktunya dengan Yah daripada
dengan istrinya sendiri, Tono selalu merasa damai ketika berada dirumah Yah,
dia merasakan tenang dan hilang semua kepenatannya. Hubungan Tono dengan
istrinya menjadi berantakan, suatu ketika paman Tini datang berusaha
mendamaikan Tono dan Tini agar hidup rukun.
Seiring berjalannya waktu Tini mengetahui hubungan gelap
Tono dengan Yah, Tini berencana mendatangi Yah dan akhirnya Tini bertemu Yah
disebuah hotel, akan tetapi niat Tini yang awalnya ingin melabrak Yah gagal
karena sikap yang lemah lembut, ironisnya Yah mengetahui kehidupan gelap Tini
dahulu sebelum menikah dengan Kartono. Tini tertegun begitu saja ketika ia
mengetahui kalau Yah tahu banyak masa lalu Tini yang gelap. Tini merasa malu
dan menyesal selama ini tidak bisa menjadi isteri yang baik bagi Tono, kemudian
Tini meminta Yah untuk bersedia menjadi isteri Tono.
Peristiwa di hotel itu menyadarkan Tini kalau dia gagal
menjadi seorang isteri, akhirnya dia meminta cerai dan
keputusannya
itu sudah
bulat. Dia memutuskan mengabdikan hidupnya di Surabaya, disebuah panti asuhan,
perceraian Tono dan Tini membuat Tono sangat sedih. Ditambah lagi Yah
meninggalkan sepucuk surat yang isinya meninggalkan Kartono. Sekarang Kartono
hanya hidup sebatang kara.
Kalau Tak Di Untung
Karya sariamin
Rasmani dan Masrul adalah dua orang sahabat karib.
Persahabatan yang dimulai sejak mereka duduk dibangku sekolah dasar itu
menimbulkan perasaan lain didiri Rasmani. Diam-diam dia mencintai pemuda yang
begitu menyayanginya dan memanjakanya itu. Ketika Masrul harus pindah ke Painan
untuk bekerja, Rasmani dengan berat hati melepaskanya. Perasaan ini pun
dirasakan oleh Masrul. Surat pertama yang diterima Rasmani dan Masrul, setelah
beberapa hari mereka berpisah, membuatnya tak percaya. Guru yang mengajar di
desanya ini menduga akan mendapatkan berita yang menggembirakan, tetapi yang
terjadi justru sebaliknya. Dalam suratnya, Masrul mengatakan bahwa dia harus
menikah dengan Aminah, anak mamaknya, dua tahun setelah ia mendapatkan banyak
pengetahuan di Painan. Masrul melakukan itu karena terpaksa. Ia harus menuruti
keinginan kaum kerabatnya, terutama ibunya. Demi kebaikan Masrul, Rasmani
menerima sikap Masrul walaupun dengan menahan perasaannya yang sakit.
Diperantauan, Masrul bekerja sebagai juru tulis. Ia mendapat tawaran dari Guru
Kepala untuk menikahi anaknya yang bernama Muslina. Pada mulanya, Masrul
menolak karena ternyata hati kecilnya lebih tertarik pada Rasmani yang telah
lama dikenalnya. Selain itu, ia juga merasa tidak enak kepada Aminah dan kaum
kerabatnya apabila ia mengingkari janjinya. Akan tetapi, karena kepintaran Guru
Kepala dan istrinya itu mendesak Masrul, akhirnya Masrul menerima tawaran itu.
Keputusan Masrul untuk menikah dengan Muslina membuat kaum kerabatnya kecewa
dan marah besar. Perasaan Rasmani sendiri begitu kacau. ” Bagaimana hati
Rasmani ketika menerima surat Masrul yang mengatakan beristri itu, tak cukup
rasanya perkataan dalam bahasa yang kan mewartakanya karena ketika itulah ia
tahu benar dan insyaf bahasa ia cinta kepada Masrul.” Kehidupan rumah tangga
Masrul dengan Muslina yang sudah membuahkan seorang anak, ternyata tidak
berjalan serasi. Keduanya sering terjadi percecokan. Hal itu disebabkan tidak
dihargainya Masrul sebagai seorang suami. Akibatnya, Masrul sering tidak pulang
kerumahnya. Ia menghabiskan waktunya dengan bermabuk-mabukan. Keadaan yang
semakin memburuk dan tidak dan tidak ada tanda-tanda terselamatkan, membuat
Masrul berpikir untuk menceraikan Muslina. Jawabanya pun tidak memuaskan
hatinya sehingga keputusan cerai mutlak dilakukan. Sementara itu, Rasmani yang
sudah berkeinginan untuk tidak menikah setelah pujaan hatinya menikah dengan
orang lain, bertambah hancur hatinya. Ia tidak bisa melawan rasa cintanya pada
Masrul walaupun berbagai usaha dilakukanya, termasuk mengizinkan Masrul menikah
dengan Muslina, keputusan yang sebenarnya bertentangan dengan hati nurani. Hal
ini ditambah lagi dengan pernyataan Masrul belakangan, yang mengatakan bahwa
selama ini hidupnya tidak beruntung dan sebetulnya ia mencintai Rasmani. “Api
yang telah hampir padam itu, mulailah kembali
memperlihatkan cahayanya, menyala makin lama, makin besar. Kenyataan
yang tidak diduga oleh Rasmani dan keluarganya adalah ketika Masrul muncul di
kediamanya di Bukitinggi. Semua kejadian
diceritakan oleh Masrul yang membuat Rasmani begitu sedih dengan penderitaan
kekasihnya itu. Beberapa waktu kemudian, Masrul melamar Rasmani. Namun, sebelum
mewujudkan pernikahanya, ia meminta izin untuk mencari pekerjaan terlebih
dahulu karena sebelumnya ia telah mengundurkan diri dari pekerjaanya di Painan.
Masrul ingin mencari pekerjaan di Medan, dengan harapan akan lebih cepat
bekerja dengan bantuan adik Engku Rasad, teman baiknya di Painan. Akan tetapi
sampai beberapa bulan lamanya, Masrul belum juga mendapatkan pekerjaan dan
berita keadaan dirinya tak pernah dikabarkan kepada Rasmani. Hal ini membuat
Rasmani berkecil hati dan menganggap Masrul tidak setia. Rasa putus asa Rasmani
bertambah-tambah setelah Masrul mengatakan bahwa Rasmani tidak usah menunggunya
kalau ada orang lain mencintainya, dalam suratnya yang datang kemudian.
Keputusan Masrul itu membuat Rasmani jatuh sakit. Rupanya sakit Rasmani yang
hmpir sembuh dengan kedatangan Dalipah,
kakaknya yang selalu mendampinginya dalam kesedihan, kambuh lagi karena
dikabarkan bahwa Masrul berhasil mendapatkan pekerjaan dan membatalkan
keputusan yang dulu disampaikan kepada Rasmani melalui surat yang datang
menyusul. “Surat yang membawa kabara baik itu rupanya lebih mengejutkan Rasmani
dan lebih merusakan jantungnya yang telah luka itu, dari surat yang dahulu.
Rasmani akhirnya meninggal tanpa disaksikan Masrul yang datang terlambat.
DIBAWAH LINDUNGAN KA’BAH
HAMKA
Seorang
pemuda bernama Hamid, sejak berumur empat tahun telah ditinggal mati ayahnya.
Ayah Hamid mula-mula ialah seorang yang kaya. Karena itu banyak sanak saudara
dan sahabatnya. Tetapi setelah perniagaannya jatuh dan menjadi melarat, tak ada
lagi sanak saudara dan sahabatnya yang datang. Karena sudah tak terpandang lagi
oleh orang-orang sekitarnya itu, maka pindahlah ayah Hamid beserta ibunya ke
kota Padang, yang akhirnya dibuatnya sebuah rumah kecil. Di tempat itulah ayah
Hamid meninggal.
Tatkala
Hamid berumur enam tahun, untuk membantu ibunya ia minta kepada ibunya agar
dibuatkan jualan kue-kue untuk dijajakan setiap pagi.
Di
dekat rumah hamid terdapat sebuah gedung besar yang berpekarangan luas. Rumah
itu telah kosong karena pemiliknya, seorang Belanda, telah kembali ke
negerinya. Hanya penjaganya yang masih tinggal, yakni seorang laki-laki tua
yang bernama Pak Paiman. Tetapi tak lama kemudian, rumah itu dibeli oleh
seorang-orang kaya yang bernama Haji Jakfar. Isterinya bernama Mak Asiah dan
anaknya hanya seorang perempuan saja yang bernama Zainab.
Setiap
hari Hamid dipanggil oleh Mak Asiah karena hendak membeli makanan yang
dijualnya itu. Pad awaktu itu juga ia ditanya oleh Mak Asiah tentang orang
tuany6a dan tempat tinggalnya. Setelah Hamid menjawab pertanyaan itu, Mak Asiah
pun meminta kepada Hamid agar ibunya datang ke rumahnya. Sejak kedatangan ibu
Hamid ke rumah Mak Asiah itulah, maka persahabatan mereka itu menjadi karib dan
Hamid beserta ibunya sudah dianggap sebagai keluarganya sendiri.
Ketika
Hamid berumur tujuh tahun, ia pun atas biaya Haji Jakfar yang baik hati itu
disekolahkan bersama-sama anaknya, Zainab, yang umurnya lebih muda daripada
Hamid. Pergaulan Hamid dengan Zainab, seperti pergaulan antara kakak dengan
adik saja. Setelah tamat dari SD, Hamid dan Zainab pun sama-sama dilanjutkan
sekolahnya ke Mulo.
Setelah
keduanya tamat dari Mulo, barulah Hamid berpisah dengan Zainab, karena menurut
adat Zainab harus masuk pingitan, sedang Hamid yang masih dibiayai oleh Haji
Jakfar, meneruskan pelajaran ke sekolah agama di Padangpanjang. Di sekolah
itulah Hamid mempunyai seorang teman laki-laki yang bernama Saleh.
Pada
suatu petang, tatkala Hamid pergi berjalan-jalan di pesisir, bertemulah ia
dengan Mak Asiah yang baru datang dari berziarah ke kubur suaminya. Ia naik
perahu sewaan bersama-sama dua orang perempuan tua lainnya. Pada pertemuan
itulah Mak Asiah mengharapkan kedatangan Hamid ke rumahnya pada keesokan
harinya, karena ada suatu hal penting yang hendak dibicarakannya. Setelah Hamid
datang pada keesokan harinya ke rumah Mak Asiah, maka Hamid pun dimintai tolong
oleh Mak Asiah agar ia mau membujuk Zainab untuk bersedia dinikahkan dengan
kemenakan Haji Jakfar yang pada waktu itu masih bersekolah di Jawa. Tetapi
permintaan itu ditolak oleh Zainab dengan alasan ia belum lagi hendak menikah.
Penolakan
itu sebenarnya disebabkan Zainab sendiri telah jatuh cinta kepada Hamid. Bagi
Hamid sendiri, sebenarnya ia cinta kepada Zainab, hanya cintanya itu tidak
dinyatakan berterus terang kepada Zainab. Karena itulah, sebenarnya suruhan Mak
Asiah itu bertentangan dengan isi hatinya. Tetapi karena ia telah berhutang
budi kepada Mak Asiah, maka dilaksanakan permintaan tersebut. Setelah kejadian
itu Hamid pun pulang ke rumahnya, tetapi sejak itu, ia tidak pernah lagi datang
ke rumah Mak Asiah, karena sejak itu ia meninggalkan kota Padang menuju Medan
dan selanjutnya pergi ke tanah Suci Mekah. Dari Medan Hamid berkirim surat
kepada Zainab untuk minta diri pergi menurutkan kemana arah kakinya berjalan.
Surat Hamid itulah yang selalu mendampingi Zainab yang dalam kesepian itu.
Komentar
Posting Komentar